Ketika dan Maka

Written By Footnote on 14/01/12 | 13.18

Ketika Duryudana tidak meminta restu ibunya, Dewi Gandari, sebelum berperang melawan Pandawa, maka muncul ajaran filsafat "Kutukan ibu lebih hebat dari restunya".


Ketika Duryudana memerintah Hastinapura dengan lalim dan tamak, "Jika orang bersandar pada kejahatan, maka pintu kehancuran sudah terbuka". "Ketamakandan kelicikan dapat menghancurkan bangunan istana kebaikan".
Ketika Pandu meninggal tatkala Pandawa lahir, "Jiwa akan abadi, kebenaranakan tetap terjaga".

Ketika Dewi Madrim (ibu Nakula dan Sadewa) ikut mati bersama Pandu, "wujud kesetiaan seorang istri".

Ketika Raja Kansa membunuh setiap bayi laki-laki yang baru lahir, "Kelaliman adalah investasi kebinasaan. Kebaikan adalah tangga menuju kesuksesan".

Arjuna adalah penengah Pandawa. Dia adalah seorang ksatria yang sakti-mandraguna. Bahkan, kesaktiannya melebihi kakak-kakaknya, Yudistira dan Bima. Meskipun demikian, ia tetap patuh pada kedua kakaknya itu. Maka muncul filsafat, "Sehebatnya kehebatan seorang adik, ia harus menghormati kakaknya".

Ketika Duryudana lebih percaya pada Patih Sengkuni, "Kebutaan hati menyebabkan mudah dihasut".

Ketika Drupadi dengan setia selalu menemani suaminya dalam pengasingan 13 tahun di tengah hutan, "Wanita utama adalah yang tetap menjaga akan cinta sejatinya".

Ketika Yudistira memerintah Amarta dengan adil, "Cahaya keadilan akan menyebar dan menerangi setiap orang". "Setiap keputusan yang diambi haruslah bersih dan adil".

Ketika Resi Bisma dan Resi Wiyasa menghormati Kresna, "Hanya wali yang bisa mengetahui seseorang itu wali".

Ketika Drupadi ditelanjangi Dursasana di depan forum istana Hastina, maka muncul sebait kalimat, "Waktu tak bisa menutup mata atas peristiwa yang terjadi. Ia hanya menjadi saksi".

Ketika melihat peran Ibu Kunti yang bijaksana dan berlaku adil, "Kedudukan wanita utama sangatlah mulia".

Ketika Sang Kresna membeberkan tentang rahasia alam dan peran manusia, "Setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab atas perbuatannya".

Ketika Bisma gelisah melihat Duryudana, "Kebijakan yang menjauhi kebenaran, maka ia akan mendekati kehancuran".

Ketika Arjuna ingin meminta senjata ampuh yang lebih banyak lagi dari para dewa, "Bagi manusia, melewati batas adalah tidak mungkin".

Ketika Pandawa memenangkan Perang Baratayudha di Kurusetra, "Di mana kebenaran bersemayam, di situlah harapan kemenangan".

Ketika Pandawa sudah terjebak permainan judi untuk yang kedua kalinya, maka sang ahli politik, Rama Widura berujar, "Judi hanya akan merusak akal budi". "Keledai pun tidak mau terjebak untuk kedua kalinya". "Keahlian/kepandaian tanpa kewaspadaan, adalah kelalaian". Atau, "Kejujuran tanpa perhitungan, adalah awal kehancuran".

Ketika Kurawa memerintah Hastinapura, "Kecurangan dan penipuan dapat menciptakan ketakutan dan kejahatan". "Suatu penipuan menyembunyikan kelemahannya di bawah jubah keramahan". Atau, "Bila sifat politik kenegaraan dicampuri dengan kepentingan individu, ia akan menuju kehancuran".

Ketika Gandari menangisi kematian 100 anaknya di medan Kurusetra, "Seorang ibu sebenarnya memberkati anaknya".

Ketika Kurawa memenangkan sengketa Hastina atas Pandawa melalui meja perjudian yang disaksikan oleh para petinggi Hastina, "Kejahatan yang dilakukan secara prosedural, akan bisa menjadi sebuah kebenaran".

Ketika Pandawa dibuang ke hutan, "Hutan itu layaknya Ibu. Ia penuh dengan kesejukan. Jika panas terik, kita berteduh di bawah pohonnya".

Ketika kesengsaraan hidup melanda mereka, "Tirakat dan riyadhlo adalah sarana menuju kesempurnaan hidup".

Ketika Bima menikah dengan wanita raksasa, DewiArimbi, "Cinta tak mengenal bangsa". Atau, "Menjadi wanita dan satria utama, ia didukung oleh kekuatan cinta".

Ketika Pandawa diasingkan selama 13 tahun di tengah hutan, maka muncul sebaris kalimat dalam benak penulis, "di mana orang berbudi dilukai, disitulah akan datang kehancuran".
Atau, "jika kebenaran terancam, moral manusia akan pudar".

Ketika melihat Raja Destarastra yang bebal, maka mengalir sebaris kalimat, "Tidak mau belajar dari pengalaman adalah suatu kebodohan".

Ketika Pandawa melepaskan Duryudana dari penyanderaan para gandarwa, maka muncul, "Bagi si baik, menolong si jahat adalah kewajiban. Sebaliknya, bagi si jahat, itu adalah penghinaan yang mempermalukan".

Ketika perseteruan Pandawa-Kurawa sudah menemui jalan buntu, "Perang terjadi bila semua jalan perdamaian tertutup".

Ketika melihat intrik politik yang selalu dimainkan Kurawa untuk menjahati Pandawa, "Iri dan kebencian menyebabkan buta hati";

Ketika Pandawa ingin membalas dendam, "Tidak dibenarkan, kebenaran yang mengabaikan etika".

Ketika Kurawa merasa dirinya sudah berlaku adil, maka muncul "Keadilan dan ketidakadilan bukan terletak di ruang hampa. Memahaminya, membutuhkan lapangan dan masyarakat untuk menilainya".

Ketika Yudistira memimpin Kerajaan Amarta dengan adil, "Kebajikan hati adalah pedoman hidup masyarakat".

0 komentar:

Posting Komentar

No Rasis, No Anarkis